Sabtu, 10 Oktober 2015

MEMBANGUN KARAKTER BANGSA MELALUI PENDIDIKAN

engantar
Beberapa tahun belakangan ini bangsa Indonesia mengalami keterpurukan di banyak bidang kehidupan sekaligus. Dimulai dari keterpurukan ekonomi kemudian merambat ke bidang yang lainnya, hukum, sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Keterpurukan yang terjadi sekarang ini sudah sangat kompleks karena apa yang sedang berlangsung di dalam satu sisi segera disambut dengan sisi kehidupan yang lain.
Reformasi yang digelorakan di negeri ini ternyata tidak atau belum sanggup mengatasi keterpurukan tersebut. Di dalam berbagai dimensi, reformasi terkesan justru menambah kompleksnya keterpurukan bangsa ini; dan di berbagai faset, reformasi terlihat tak lagi membuat simpel, tetapi justru menambah rumit problematika nasional yang dihadapi bangsa ini.
Sudah barang tentu reformasi yang sedang dijalankan oleh bangsa ini mengandung banyak aspek yang positif, tetapi ada ekses yang terkadang menutup cita-cita reformasi itu sendiri, bahkan tak jarang terkesan akan membelokkan arah reformasi. Munculnya barbarisme dan vandalisme baik secara fisik maupun nonfisik, adanya model-model KKN baru, seringnya terjadi pembenaran politik dalam berbagai permasalahan yang jauh dari kebenaran universal, hilangnya keteladanan para pemimpin, larutnya semangat berkorban bagi bangsa dan negara, menjalarnya penyakit sosial yang makin kronis, dsb, adalah realitas yang dapat menciutkan hati warga negara yang mendambakan kebersamaan dan kedamaian.
Dalam kondisi ini, secara tidak sadar masyarakat tergiring menjadi "manusia robot". Pada saat yang bersamaan muncul sifat serakah, keinginan jalan pintas dalam memecahkan persoalan hidup, kurang sensitif terhadap kelompok masyarakat lain yang sedang menderita, dan sebagainya. Semua itu karena terdorong kuat oleh dampak pembangunan terfokus pada pertumbuhan ekonomi yang dipatok tinggi, yang pada gilirannya menuju ke arah budaya konsumerisme. Gap kaya-miskin menjadi sangat lebar. Ketidakpuasan timbul di mana-mana. Krisis ekonomi menjalar cepat pada krisis politik.
Isue tentang pembangunan “nation and character building” yang sempat mencuat pada masa lampau, namun kemudian mulai kehilangan gaungnya. Dari kacamata ini, tidak terlalu keliru bila berbagai permasalahan bangsa yang dikemukakan di atas akhirnya bersumber dari lemahnya pendidikan dalam membangun karakter dan pekerti bangsa.
Bangsa Indonesia sepertinya telah kehilangan karakter yang telah dibangun bertahun-tahun, bahkan berabad-abad. Kerjasama, keramahan, tenggang rasa, kesopanan, dsb, yang merupakan nilai-nilai budaya yang merupakan karakter bangsa ini seolah-olah hilang begitu saja. Sekarang ini kita sadar kembali tentang perlunya karakter baru bangsa Indonesia untuk membangun negeri ini.
Secara tradisional berbagai suku bangsa di Indonesia sebenarnya telah memiliki berbagai pranata yang berfungsi sebagai sarana melakukan sosialisasi dan transfomasi nilai-nilai untuk membangun  karakter dan pekerti bangsa. Namun dalam perkembangannya kini berbagai pranata tersebut tidak lagi dikenali dan dimanfaatkan lagi.

Wawasan kebangsaan
Semboyan negara kita Bhinneka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetapi satu juga, bukanlah hanya berfungsi sebagai permainan buah bibir saja tetapi telah dibuat oleh para pelopor pendiri negara kita untuk melambangkan keanekaragaman masyarakat dan kebudayaan yang bersatu dalam wadah satu masyarakat dan negara Indonesia dengan satu kebudayaan nasional yang dijiwai oleh Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Semboyan tersebut merupakan kristalisasi dan sekaligus juga hasil refleksi atas kenyataan bahwa di satu sisi Indonesia itu bhineka, tetapi sekaligus juga satu.
Berdasarkan atas tipologi yang ada masyarakat Indonesia yang bercorak Bhinneka Tunggal Ika itu dapat digolongkan sebagai masyarakat majemuk. Ada berbagai tipe masyarakat majemuk, dan salah satu dari tipe tersebut adalah seperti yang terdapat dalam masyarakat Indonesia, yaitu sebuah masyarakat yang terdiri atas sejumlah golongan sukubangsa yang terwujud sebagai satuan-satuan masyarakat dan kebudayaan yang masing-masing berdiri sendiri yang disatukan oleh kekuatan nasional sebagai sebuah negara.
Dalam masyarakat majemuk seperti halnya Indonesia, usia masing-masing golongan sukubangsa yang tergabung dalam masyarakat tersebut lebih tua dari pada usia masyarakat majemuk itu sendiri yang bersamaan lahirnya dengan kelahirannya sebagai suatu negara atau satuan politik. Karenanya juga, kebudayaan nasional suatu masyarakat majemuk, seperti Indonesia, biasanya belum mantap dibandingkan dengan kebudayaan suku-sukubangsa yang tercakup di dalamnya.
Masyarakat Indonesia yang majemuk haruslah mengakui, menghormati dan menghargai kemajemukan itu sebagai sebuah kekayaan bangsa dalam membangun dan mengembangkan karakter bangsa. Dalam hubungan itu, Meutia Hatta (2002:2) memaparkan bahwa strategi kebudayaan yang andal yang diisi dengan nilai-nilai yang mendorong terbentuknya watak atau karakter bangsa yang (1) tangguh dalam mencapai kemajuan bangsa dan negara; (2) cinta, bangsa, hormat, memelihara serta menjaga tanah air dan sesama anak bangsa; (3) tidak mudah terpukau dan tidak rendah diri terhadap unsur asing; (4) berkeinginan untuk bersatu dalam ikatan kuat sehingga mampu menjadi tuan rumah di negerinya sendiri; (5) menghargai kebersamaan dan kerja sama (mutualitas) dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara demi mencapai kemajuan bangsa dan tanah air''.
Di samping itu, nilai-nilai yang tertera Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dalam kerangka membangun karakter bangsa dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama dari agama-agama yang diakui di Indonesia. Bahkan ''persatuan Indonesia'' pun dapat bermakna sebagai solidaritas kelompok yang juga selain terdapat dalam nilai-nilai agama dan bahkan tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya suku-suku bangsa Indonesia yang jumlahnya cukup fantastik itu.
Ketika berbicara tentang pembangunan karakter bangsa, memang tidak dapat melepaskan diri dari pembahasan mengenai kebudayaan nasional, karena kebudayaan nasional merupakan wadah pembentukan karakter bangsa, sebagai sarana bagi pembentukan sikap mental bangsa yang berkualitas agar bangsa kita mampu menghadapi tantangan zaman, dan merupakan sarana yang paling penting untuk menjadi kekuatan pemersatu bangsa.

Koentjaraningrat mengatakan bahwa kebudayaan nasional dapat berfungsi (1) sebagai suatu sistem gagasan  dan perlambang yang memberi identitas kepada warga negara Indonesia, (2) sebagai suatu sistem gagasan dan perlambang yang dapat dipakai oleh semua warga negara Indonesia yang bhineka itu, untuk saling berkomunikasi dan dengan demikian dapat memperkuat solidaritas.
Dalam fungsinya yang pertama, suatu unsur kebudayaan dapat menjadi suatu unsur dalam kebudayaan nasional Indonesia apabila unsur itu mempunyai paling sedikit tiga syarat, yaitu: (1) harus merupakan hasil karya warga negara Indonesia atau hasil karya orang-orang Indonesia jaman dahulu yang berasal dari daerah-daerah yang sekarang merupakan wilayah negara Indonesia; (2) unsur itu harus merupakan hasil karya warga negara Indonesia yang tema pikiran atau wujudnya mengandung ciri-ciri khas Indonesia; (3) harus juga merupakan hasil karya warga negara Indonesia yang oleh sebanyak mungkin warga negara Indonesia lainnya dinilai sedemikian tingginya sehingga dapat menjadi kebanggaan mereka semua, dan dengan demikian mereka mau mengidentitaskan diri dengan unsur kebudayaan itu.
Kebudayaan nasional bukan sekadar kebudayaan yang lahir secara alamiah sebagai hasil karya suku-suku bangsa tertentu di Indonesia dan bukan pula sekadar hasil akulturasi dari sejumlah unsur bangsa kebudayaan daerah yang kemudian memperoleh wujud baru sebagai kebudayaan Indonesia. Kebudayaan nasional adalah kebudayaan yang dibentuk melalui strategi kebudayaan untuk menjadi sarana membangun bangsa

Konsep Karakter dan Pekerti Bangsa
Menurut Kamus besar Bahasa Indonesia, karakter  mempunyai pengertian   sifat-sifat kejiwaan; tabiat; watak; perangai; akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Berkarakter artinya berkepribadian; bertabiat atau berwatak. Demikian pula dengan konsep pekerti mempunyai pengertian yang sama dengan karakter, yaitu tabiat; watak; atau sifat-sifat kejiwaan. Konsep pekerti biasanya dihubungkan dengan budi pekerti, yang berarti pekerti atau watak yang selalu menyenangkan orang lain. Mengacu pada pengertian dalam bahasa Inggris, budi pekerti diterjemahkan sebagai moralitas, yang mempunyai beberapa pengertian antara lain adat istiadat, sopan santun, dan perilaku. Edi Sedyawati (1999) mengatakan bahwa sesungguhnya pengertian budi pekerti yang paling hakiki adalah perilaku. Sebagai perilaku, budi pekerti meliputi pula sikap yang dicerminkan oleh perilaku. Sikap dan perilaku budi pekerti mengandung lima jangkauan, yaitu:





Karakter dapat bersifat individual dan juga dapat bersifat kolektif, karena itu  yang mempunyai karakter adalah manusia, suku bangsa atau bangsa. Dengan demikian yang dimaksud dengan karakter atau pekerti bangsa adalah watak, tabiat atau perangai yang dimiliki oleh sebuah bangsa. Karakter atau pekerti bangsa tersebut tercermin dalam perilaku, ekspresi diri dan juga identitas diri pada seluruh warga bangsa. Keberhasilan sebagai bangsa yang berkarakter adalah memberikan citra diri yang positif dalam pembentukan sumber daya manusia seutuhnya serta identitas bangsa yang intelek sehingga mampu menyejajarkan diri dengan negara-negara lain.
Mengapa kita pelu membentuk karakter? Dengan adanya pembentukan karakter sejak dini diharapkan akan lahir generasi-genarasi yang memiliki kepribadian yang matang, hubungan yang harmonis dalam keluarga, lingkungan dan masyarakat, menjadi manusia yang bermanfat untuk orang lain.

Bagaimana Membangun Karakter dan Pekerti Bangsa
Semangat untuk membangun karakter dan pekerti bangsa sebenarnya sudah digelorakan para pendiri bangsa sejak negara ini berdiri, dengan istilah yang begitu dikenal kala itu “nation and character building”. Begitu pentingnya pembangunan karakter bangsa ini sehingga Bung Karno, presiden pertama RI, menempatkannya sebagai salah satu strategi besar dalam proses pembangunan bangsa. Pembangunan karakter bangsa tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk membangun suatu bangsa besar yang mandiri, yang, sekali lagi meminjam istilah Bung Karno, tidak menjadi “eine nation von kuli und kuli unter den nationen”, bangsa kuli di bawah bangsa-bangsa.
Pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto bekerja dengan model dirigisme yang otoriter. Dengan demikian memang diperoleh keadaan yang lebih kondusif untuk melaksanakan berbagai program pembangunan ekonomi dan industri. Tetapi ternyata “pembangunan manusia seutuhnya” yang secara resmi menjadi tujuan utama dari ideologi pembangunan, malahan terpuruk sedemikian rupa, sehingga menghasilkan masyarakat yang terdiri dari warga masyarakat yang tidak mandiri. Terlebih Orde Baru mempercanggih praktek korupsi yang mulai tumbuh di masa Orde Lama menjadi suatu konser dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sekaligus.  Niels Mulder bahkan mengemukakan bahwa masyakat yang dihasilkan oleh Orde Baru adalah masyarakat yang tidak bermoral.
Adanya kecenderungan menurunnya pengamalan nilai-nilai moral dan etika di tengah-tengah keluarga dan masyarakat memang merupakan fenomena yang ditemukan dalam kehidupan masyarakat. Hubungan yang harmonis antar penduduk di sebagian masyarakat  kita cenderung memudar. Keadaan ini sering menimbulkan konflik di antara warga masyarakat yang menyebabkan terjadinya pertumpahan darah. Selain itu, sebagian masyarakat, keluarga dalam menatap hari depan untuk anak-anaknya cenderung berfikir materialistik, sehinga si anak sejak kecil sudah teracuni oleh sifat-sifat kebendaan atau duniawi. Misalnya, kalau ada orang tua bertanya kepada anaknya, Nak! kalau besar kamu mau jadi apa ? Lalu si anak menjawab,  saya ingin menjadi Insinyur! atau saya ingin menjadi Dokter! dan lain sebagainya. Pola pikir seperti ini sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat kebendaan tadi atau karakter seseorang atau keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, pola ini setahap-demi setahap harus diimbangi dengan  pembinaan hati nurani sebagai sumber dari pembentukan karakter.
Reformasi yang digelorakan di negeri ini ternyata tidak atau belum sanggup mengatasi keterpurukan tersebut. Di dalam berbagai dimensi, reformasi terkesan justru menambah kompleksnya keterpurukan bangsa ini; dan di berbagai faset, reformasi terlihat tak lagi membuat simpel, tetapi justru menambah rumit problematika nasional yang dihadapi bangsa ini.
Persoalannya, proses dekonstruksi pada masa reformasi selama lima tahun terakhir sesungguhnya menciptakan berbagai tantangan proses konstruksi tersebut, hal ini biasa terjadi di berbagai sejarah bangsa-bangsa ketika mengalami sebuah revolusi, ataupun reformasi penuh percepatan sejarah kekuasaan dan krisis ekonomi sosial. Proses dekonstruksi ini secara umum melahirkan tiga tantangan untuk dapat dikonstruksi kembali.
Pertama, di satu sisi, munculnya ketidakpercayaan terhadap berbagai lembaga maupun pimpinan formal, seperti birokrasi, bupati, gubernur, dan lain-lain. Di sisi lain, lembaga-lembaga formal seperti birokrasi merasa tidak diperlukan dan sering disepelekan, sehingga memunculkan hilangnya kebanggaan sebagai birokrat, dan pada gilirannya menurunkan kultur pelayanan. Yang tersisa, sekadar kerja untuk mencari ruang ekonomi dan kekuasaan.
Kedua, pesimisme terhadap daya hidup dan kemampuan pemecahan masalah-masalah bangsa. Hal ini terjadi karena percepatan pergantian kekuasaan dan krisis yang terus-menerus, sehingga proses berbangsa kehilangan waktu untuk melakukan pemecahan masalah. Pada sisi yang lain, kekerasan dalam berbagai bentuknya sebagai pemecahan masalah muncul sebagai ekspresi ketidakpuasan dan jalan pintas. Demikian juga, meningkatnya konsumerisme yang berlebihan, yang menjadikan bangsa tidak lagi menjadi bangsa produktif namun konsumtif. Inilah budaya instan dan pelarian ketika aspek keutamaan berbangsa kehilangan tempat di masyarakat.
Ketiga, munculnya dengan kuat primordialisme dan fanatisme agama. Hal ini disebabkan karena krisis ekonomi sosial dan kepemimpinan serta perubahan berbagai undang-undang, maupun desentralisasi yang bersifat teknis dan ekonomis tanpa aspek nilai multikultur. Pada akhirnya melahirkan anomali di tengah globalisme yang mempunyai mekanisme kekuasaan nilai dan ekonomi sendiri. Bisa diduga, hal ini menjadikan masyarakat di tengah krisis mencari penyelamatan pada aspek terdekat dan teraman serta tergampang, baik geografi, suku maupun agama. Yang lahir kemudian adalah primordialisme disertai fanatisme agama yang berlebihan. Maka, dekade semacam ini, melahirkan pahlawan-pahlawan lokal dan agama yang kehilangan nilai multikultur dan toleransi serta hormat pada kehidupan bersama serta proses sejarah berbangsa.
Sudah barang tentu reformasi yang sedang dijalankan oleh bangsa ini mengandung banyak aspek yang positif, tetapi ada ekses yang terkadang menutup cita-cita reformasi itu sendiri, bahkan tak jarang terkesan akan membelokkan arah reformasi. Munculnya barbarisme dan vandalisme baik secara fisik maupun nonfisik, adanya model-model KKN baru, seringnya terjadi pembenaran politik dalam berbagai permasalahan yang jauh dari kebenaran universal, hilang-nya keteladanan para pemimpin, larutnya semangat berkorban bagi bangsa dan negara, menjalarnya penyakit sosial yang makin kronis, dsb, adalah realitas yang dapat menciutkan hati warga negara yang mendambakan kebersamaan dan kedamaian.
Tim Kerja Filosofi Pendidikan yang dibentuk oleh Depdiknas, Bappenas dan World Bank (1999) pernah merumuskan karakter baru bangsa Indonesia ke depan yang terdiri lima indikator masyarakat madani Indonesia, yaitu:





Sementara itu Tim Kebudayaan yang dibentuk oleh Depdiknas (2000) juga pernah merumuskan karakter baru bangsa Indonesia ke depan yang terdiri delapan indikator masyarakat madani Indonesia, yaitu:








Dengan mendasarkan indikator tersebut di atas terdapat kesenjangan yang lebar antara karakter bangsa yang dicita-cita-kan dan realitas yang ada sekarang. Sudah barang tentu untuk merealisasi cita-cita ini diperlukan waktu yang tidak singkat serta energi yang tidak sedikit.

Membangun Karakter dan Pekerti Bangsa Melalui Pendidikan
Pembangunan karakter bangsa menjadi hal yang mendesak untuk kita segerakan. Melalui pendidikan, khususnya pendidikan kewarganegaraan atau ciciv education, pembangunan karakter bangsa itu dapat dimulai. Sasarannya tentu saja adalah pembangunan watak individu manusia Indonesia. Untuk hal ini, penguatan spiritualitas dan akhlaq menjadi salah satu prioritas penting. Sebab civic education bukan sekadar proses untuk membuat seseorang itu mengetahui apa hak-haknya sebagai warga negara, akan tetapi lebih dari itu dimaksudkan juga untuk mendidik setiap individu agar dapat bersikap secara proporsional karena dilandari oleh watak mandiri, watak manusia yang oleh Allah diciptakan sebagai makhluk yang merdeka. Baru dengan begitulah kita berhak untuk berharap bahwa bangsa besar ini akan mampu menegakkan kepalanya berhadapan dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Baru dengan begitu pulalah bangsa besar ini tidak akan mudah diombang-ambingkan oleh pemaksaan hegemoni negara lain.
KITA pun semakin menyadari betapa strategisnya pembangunan karakter bangsa. Pembangunan karakter yang membuat kita sebagai bangsa memiliki kemauan, kecakapan, serta karakter yang diperlukan oleh perkembangan bangsa dan perkembangan global. Misalnya kita harus memperkokoh daya kompetisi kita dengan bangsa lain dalam pendidikan dalam bisnis, dalam sosial budaya, dalam menguasai ilmu dan teknologi.
Kita paham, bukan saja pengetahuan kognitif yang kita perlukan, bukan saja pengetahuan emosional, tetapi sekaligus kemauan dan kesanggupan untuk mengubah dan membentuk karakter bangsa yang kondusif untuk kemajuan-kemajuan itu.
Diharapkan dengan tercapainya atribut-atribut di atas dengan segala pemaknaan dan implementasinya dapat diwujudkan masyarakat madani -- masyarakat sipil, masyarakat yang beradab yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang menghargai harkat dan martabat manusia -- seperti yang dicita-citakan. Semua itu akan amat bergantung pada pilihan-pilihan kehidupan sosial politik dan kenegaraan yang ditentukan bersama sebagai manifestasi dari harapan, keinginan dan cita-cita baik sebagi individu, warga masyarakat dan warga negara. Artinya, partisipasi masyarakat dalam mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila harus didasari oleh sense of belonging yang tinggi terhadap bangsa dan negara, sehingga demokrasi yang disalahartikan menjadi kebablasan tanpa kendali dan tanpa disiplin yang dapat menghasilkan partisipasi anarkis yang didasari rasa dendam, irihati dan kebencian, tidak akan pernah terjadi.
Keberhasilan sebagai individu akan membentuk citra diri yang berkarakter, sumber daya manusia yang berkualitas, serta mempunyai wawasan yang luas dalam berbagai bidang ilmu dan teknologi. Keberhasilan sebagai bangsa adalah memberikan citra diri yang positif dalam pembentukan sumber daya manusia seutuhnya serta identitas bangsa yang intelek sehingga mampu menyejajarkan diri  dengan negara-negara lain. Akan tetapi secara umum keberhasilan dalam dunia pendidikan kita masih jauh tertinggal. Sebetulnya yang menjadi akar permasalahan antara lain, pertama, tenaga pendidik masih belum memadai. Memang dalam pendidikan kita, banyak pendidik yang tingkat pendidikannya maupun tingkat intelektualnya di atas rata-rata, akan tetapi ketika para pendidik masih memikirkan masalah ekonomi dia tidak akan berkonsentrasi penuh dalam mendidik (pendidikan). Sehingga dalam dirinya akan terdapat dualisme pemikiran, inilah yang menjadi faktor penyebab pendidik kita belum memadai dalam memberikan pendidikan.
Kedua, dunia pendidikan kita terlalu teoretis dan birokratis sehingga lebih banyak teori daripada praktik, ketika lulusan kita dihadapkan pada kenyataan real di lapangan belum terampil dalam mempraktikkan bidang keilmuannya, inilah yang menyebabkan dunia pendidikan kita belum mampu bersaing di dunia internasional. Seharusnya dalam era globalisasi ini, dunia pendidikan kita harus seimbang antara teori dan praktik karena ini sangat vital dalam membentuk sumber daya manusia yang berkualitas dan berintegritas.
Ketiga, kualitas sistem pendidikan jalan di tempat. Sering terjadi perubahan-perubahan vital atau mendasar dalam sistem pendidikan kita, seperti perubahan kurikulum pendidikan, sehingga kita kehilangan arah dalam mencapai tujuan pendidikan. Semestinya pendidikan kita dengan kurikulum yang ”deduktif” mampu mencetak sumber daya manusia yang tinggi, intelek dan cepat menyerap berbagai teknologi (science). Sehingga kita mampu bersaing dalam pergaulan dunia internasional.

Penutup
Dalam usaha pembangunan karakter dan pekerti bangsa memerlukan keterlibatan  seluruh komponen bangsa. Semua warga negara mempunyai tanggung jawab untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Pada dasarnya penyelenggaraan pendidikan bisa didekati melalui tiga pendekatan, yakni: (1) non-school based, terutama dilakukan dalam lingkup keluarga; (2) school-based character buliding; dan (3) kombinasi antara family and school-based character buliding.
Dengan tiga pendekatan tersebut, pendidikan harus mengandung tiga unsur: (a) belajar untuk tahu (learn to know), (b) belajar untuk berbuat (learn to do) dan (c) belajar untuk hidup bersama (learn to live together). Unsur pertama dan kedua lebih terarah membentuk having, agar sumberdaya manusia mempunyai kualitas dalam pengetahuan dan keterampilan atau skill. Unsur ketiga lebih terarah being menuju pembentukan karakter bangsa. Kini, unsur itu menjadi amat penting. Pembangkitan rasa nasionalisme, yang bukan ke arah nasionalisme sempit; penanaman etika berkehidupan bersama, termasuk berbangsa dan bernegara; pemahaman hak asasi manusia secara benar, menghargai perbedaan pendapat, tidak memaksakan kehendak, pengembangan sensitivitas sosial dan lingkungan dan sebagainya, merupakan beberapa hal dari unsur pendidikan melalui belajar untuk hidup bersama. Pendidikan dari unsur ketiga ini sudah semestinya dimulai sejak Taman Kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Penyesuaian dalam materi dan cara penyampaiannya tentu saja diperlukan.

sumber:http://trijokoantro-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-64194-KeIndonesiaan-MEMBANGUN%20KARAKTER%20BANGSA%20MELALUI%20PENDIDIKAN.html

Ubah Budaya Untuk Menjangkau Dunia

Sosialisasi ISO akan menjadi prioritas Umi di tahun pertama masa kepemimpinannya. Sosialisasi perlu disampaikan dan diupayakan menjadi bagian dari diri sendiri. Perubahan budaya di Fakultas Farmasi menjadi sesuatu yang diincar oleh Umi. Umi ingin Fakultas Farmasi dijalankan sesuai dengan sistem mutu yang sudah berlaku. Menurutnya, apabila semua berjalan sesuai rencana, sistem mutu Fakultas Farmasi bisa dibakukan.

Membangun Fakultas Farmasi yang sehat dan bermartabat menjadi tujuan Umi. Umi tidak ingin staf dan dosen di Fakultas Farmasi sekedar bekerja, tapi juga memberikan yang terbaik. Karyawan dan dosen harus mengetahui peran, tugas, dan kewajibannya serta memberikan yang terbaik untuk fakultas. Bagi Umi, kunci kemajuan Fakultas Farmasi terletak di tangan dosen, karyawan, dan mahasiswa.

Dalam kurun waktu empat tahun, Umi menargetkan sistem jaminan mutu yang berlaku di Fakultas Farmasi Unair akan menjadi rujukan bagi pendidikan farmasi di seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Umi mengatakan, apabila standar mutu yang ditetapkan bisa terus dicapai dan dijaga, hal itu sama sekali tidak mustahil. Untuk meraih semua itu, semua komponen dalam sistem harus mampu bekerja dengan baik. Fakultas Farmasi adalah sistem, sementara dosen, karyawan, dan mahasiswa merupakan komponen atau sub sistem yang menjaga agar sistem terus berjalan. Karena itulah, Umi berkeras mengubah culture di Fakultas Farmasi agar sesuai dengan penjaminan mutu dan ISO.

“Dalam sebuah sistem, komponen atau sub sistem memegang peranan penting. Pijakan utama bagi terwujudnya sistem yang baik adalah sub sistem yang berjalan baik. Apabila setiap komponen berjalan dengan baik, maka keseluruhan sistem akan berjalan dengan sempurna,” terang Umi.

Sama halnya dengan universitas, bila komponen di dalamnya, yaitu dosen, karyawan, dan mahasiswa, bekerja dengan baik, maka world class university bisa dicapai dengan mudah. Umi berprinsip, jika sesuatu dijalankan dengan baik, maka ranking dan hasil akan mengikuti. Apa yang diusahakan akan dicapai oleh Fakultas Farmasi ke depan, menurut Umi, merupakan hasil pikiran pimpinan-pimpinan terdahulu. Apa yang Umi lakukan saat ini adalah memantapkan fondasi yang sudah ada.

Sumber:Dr. Dra. Umi Athijah, M.S., Apt

PENGARUH KEBUDAYAAN ASING BAGI BANGSA INDONESIA

Dampak Budaya Asing Masuk Di Indonesia
Budaya asing yang masuk ke indonesia membawa dampak yang sangat besar dalam kehidupan generasi muda saat ini.Tidak semua budaya asing membawa dampak positif bagi generasi muda saat ini,untuk itu kita sebagai generasi muda harus dapat memilah-milah budaya asing yang masuk ke indonesia.Dalam menyikapi kebudayaan yang masuk kita harus berupaya menanggulanginya agar jati diri kita sebagai anak bangsa tidak rusak.

Banyaknya tindak kejahatan yang terjadi saat ini juga tidak lepas dari budaya asing yang masuk, tindak kriminal, narkoba,tawuran, perkosaan, pergaulan bebas terjadi karena generasi muda kita meniru kebudayaan asing yang menurut mereka sudah tidak tabu lagi untuk diikuti. Inilah fenomena yang terjadi pada generasi muda kita saat ini akibat tidak bisa memilah budaya asing yang masuk.Dalam hal ini pemerintah dan juga kita sebagai generasi muda mulai saat ini, jangan begitu saja menerima budaya asing yang masuk agar generasi muda Indonesia tidak hancur dan kita semua dapat membangun Indonesia menjadi negara yang Maju tanpa pengaruh budaya asing.

Dari masalah ini semua yang mendasarinya adalah arus globalisasi yang tak bisa dibendung lagi. Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda. Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala- gejala yang muncul dalam kehidupan sehari- hari anak muda sekarang.

Dari cara berpakaian banyak remaja- remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang cenderung ke budaya Barat. Mereka menggunakan pakaian yang minim bahan yang memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak kelihatan. Pada hal cara berpakaian tersebut jelas- jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Tak ketinggalan gaya rambut mereka dicat beraneka warna. Pendek kata orang lebih suka jika menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa.

Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan dapat diakses oleh siapa saja. Apa lagi bagi anak muda internet sudah menjadi santapan mereka sehari- hari. Jika digunakan secara semestinya tentu kita memperoleh manfaat yang berguna. Tetapi jika tidak, kita akan mendapat kerugian. Dan sekarang ini, banyak pelajar dan mahasiswa yang menggunakan tidak semestinya. Misal untuk membuka situs-situs porno. Bukan hanya internet saja, ada lagi pegangan wajib mereka yaitu handphone. Rasa sosial terhadap masyarakat menjadi tidak ada karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan handphone.

Dilihat dari sikap, banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak kenal sopan santun dan cenderung cuek tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan. Karena globalisasi menganut kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati mereka. Contoh riilnya adanya geng motor anak muda yang melakukan tindakan kekerasan yang menganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat.

Jika pengaruh-pengaruh di atas dibiarkan, mau apa jadinya genersi muda tersebut? Moral generasi bangsa menjadi rusak, timbul tindakan anarkis antara golongan muda. Hubungannya dengan nilai nasionalisme akan berkurang karena tidak ada rasa cinta terhadap budaya bangsa sendiri dan rasa peduli terhadap masyarakat. Padahal generasi muda adalah penerus masa depan bangsa. Apa akibatnya jika penerus bangsa tidak memiliki rasa nasionalisme?

Berdasarkan analisa dan uraian di atas pengaruh negatif globalisasi lebih banyak daripada pengaruh positifnya. Oleh karena itu diperlukan langkah untuk mengantisipasi pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai nasionalisme.

Langkah- langkah untuk mengantisipasi dampak negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme antara lain yaitu :

1. Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam negeri.

2. Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.

3. Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.

4. Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar- benarnya dan seadil- adilnya.

5. Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya bangsa.

Dampak Masuknya Budaya Asing ke Indonesia
Masuknya budaya asing ke indonesia disebabkan salah satunya karena adanya krisis globalisasi yang meracuni indonesia. Pengaruh tersebut berjalan sangat cepat dan menyangkut berbagai bidang kehidupan. Tentu saja pengaruh tersebut akan menghasilkan dampak yang sangat luas pada sistem kebudayaan masyarakat. Begitu cepatnya pengaruh budaya asing tersebut menyebabkan terjadinya goncangan budaya(culture shock), yaitu suatu keadaan dimana masyarakat tidak mamapu menahan berbagai pengaruh kebudayaan yang datang dari luar sehingga terjadi ketidakseimbangan dalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan.
Adanya penyerapan unsur budaya luar yang di lakukan secara cepat dan tidak melalui suatu proses internalisasi yang mendalam dapat menyebabkan terjadinya ketimpangan antara wujud yang di tampilkan dan nilai-nilai yang menjadi landasannya atau yang biasa disebut ketimpangan budaya.
Teknologi yang berkembang pada era globasisasi ini mempengaruhi karakter sosial dan budaya dari lingkungan sosial . Menurut Soerjono Soekanto (1990) masuknya budaya asing ke indonesia mempunyai pengaruh yang sangat peka serta memiliki dampak positif dan negatif.
1) Dampak Positif
Modernisasi yang terjadi di Indonesia yaitu pembangunan yang terus berkembang di Indonesia dapat merubah perekonomian indonesia dan mencapai tatanan kehidupan bermasyarakat yang adil, maju, dan makmur. Hal tersebut dihaarapkan akan mewujudkan kehidupan masyarakat yang sejahtera baik batin, jasmani dan rohani.
2) Dampak Negatif
Budaya yang masuk ke Indonesia seperti cara berpakaian, etika, pergaulan dan yang lainnya sering menimbulkan berbagai masalah sosial diantaranya; kesenjangan sosial ekonomi, kerusakan lingkungan hidup, kriminalitas, dan kenakalan remaja.
a) Kesenjangan Sosial Ekonomi
Kesenjangan sosial ekonomi adalah suatu keadaan yang tidak seimbang di bidang sosial dan ekonomi dalam kehidupan masyarakat. Artinya ada jurang pemisah yang lebar antara si kaya dan si miskin, akibat tidak meratanya pembangunan. Apabila jurang pemisah ini tidak segera
ditanggulangi dan menimbulkan kecemburuan masyarakat sosial yang dapat menyebabkan keresahan dalam massyarakat. Kesenjangan sosial itu sendiri akan mengakibatkan hal- hal berikut ini:
• Lahirnya kelompok kelompok sosial tertentu seperti adanya pengamen yang banyak berkeliaran di jalanan yang menyebabkan masyarakat terganggu dan keberadaan pengamen tersebut sering menimbulkan masalah yang dapat meresahkan masyarakat sekitar disamping itu juga terdapat kelompok pengangguran yang semakin hari semakin meningkat jumlahnya dan jika tidak dtanggulangi secara cepat maka akan menimbulkan kasus atau kriminalitas
b) Kerusakan Lingkungan Hidup
Pencemaran yang terjadi di lingkungan masyarakat menimbulkan dampak sebagai berikut:
• Polusi udara, menyebabkan sesak nafas,mata pedih, dan pandangan mata kabur.
• Polusi tanah, menyebabkan lahan pertanian menjadi rusak.
• Polusi air, menyebabkan air tidak bersih dan tidak sehat isi.
c) Masalah Kriminalitas
Kriminalitas adalah perbuatan yang melanggar hukum atau hal- hal yang bersifat kejahatan, seperti korupsi, pencurian, perkelahian, pembunuhan, pemerkosaan dan lainnya. Dalam kriminologi kejahatan disebabkan karena adanya kondisi dan proses- proses sosial yang sama yang menghasilkan perilaku sosial lainnya. Artinya, terdapat hubungan antara variasi angka kejahatan dan variasi organisasi – organisasi sosial dimana kejahatan tersebut terjadi.sebagaimana dikatakan E.H. Sutherland ( dalam Soejono Soekamto, 1990: 367) kriminalitas (perilaku jahat) merupakan proses asosiasi diferensial, karena apa yang dipelajari dalam proses tersebut sebagai akibat interaksi dalam pola dan perilaku yang jahat.
d) Kenakalan Remaja
Kenakalan remaja adalah penyimpangan perilaku yang dilakukan generasi muda (sekelompok remaja). Misalnya tawuran, perusakan barang milik masyarakat, penyimpangan seksual, dan penyalahgunaan narkotika serta obat-obatan terlarang. Kenakalan remaja dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor eksternal dan internal.
1. Faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari remaja atau keadaan pribadi remaja itu sendiri. Misalnya, pembawaan sikap negatif dan suka dikendalikan yang juga mengarah pada perbuatan nakal. Selain itu, kenakalan remaja dapat disebabkan karena adanya pemenuhan kebutuhan pokok yang tidak seimbang dengan keinginan remaja sehingga menimbulkan konflik pada dirinya dan kurang mampunya si remaja itu menyesuaikan diri dengan lingkungan.
2. Faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar diri remaja itu artinya, berasal dari lingkungan hidup remaja tersebut. Misalnya kehidupan keluarga, pendidikan di sekolah, pergaulan, dan media massa. Seseorangyang hidup dalam keluarga yang tidak harmonis cenderung akan memepnyai perilaku yang kurang baik dan menyimpang dari norma dan nilai yang berada pada masyarakat. Misalnya seorang anak yang sering melihat orang tuanya bertengkar dapat melarikan diri pada obat-obatan karena ia idak tahan melihat pertengkaran orang tuanya.

 Cara Mengantisipasi Dampak Negatif Masuknya Budaya Asing
Globasisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat mendunia, dimana batas wilayah bukan lagi hambatan yang berarti. Hubungan antar bangsa berlangsung lebih aktif. Setiap bangsa pun tidak menutup diri dari bangsa lain. Indonesia ssebagai bangsa yang terbuka harus siap menerima pengaruh tersebut.
Negara yang berhasil mewujudkan globalisasi harus dapat memanfaatkan globalisasi dalam segi kehidupan tetapi juga harus mampu menyaringnya melalui ideologi bangsa yang kokoh, dengan begitu negara tersebut akan berkembang secara cepat. Sebaliknya, apabila ketahanan ideologi dan pandangan hidup suatu bangsa rapuh, globalisasi justruakan membuat jati diri bangsa tersebut memudar.
Dibawah ini merupakan beberapa hal yang harus dilakukan untuk antisipasi dampak budaya asing.
1) Menyeleksi dan menyaring nilai-nilai budaya asing
Nilai-nilai budaya asing yang sesuai dengan bangsa kita dapat diserap sehingga akan memperkaya nilai budaya bangsa kita, sedangkan yang kita tinggalkan untuk itu, hal-hal yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Meningkatkan kesetiaan kita kepada ideologi nasional (Pancasila).
b. Mengembangkan sikap kekeluargaan dan gotong royong.
c. Mengenali dan mengembangkan nilai seni budaya.
2) Memelihara dan mengembangkan kebudayaan nasional
Memelihara dan mengembangkan budaya nasional sebagai jati diri bangsa dengan cara mengirimkan misi kebudayaan dan kesenian dari suatu daerah keluar negeri. Selain itu, dapat dilakukan dengan menayangkan dan menyiarkan kebudayaan dan kebudayaan nasional melalui berbagai media, mengadakan seminar membahas kebudayaan daerah sebagai budaya nasional, serta pelestarian dan pewarisan dan pewarisan daerah yang dapat mendorong persatuan dan kesatuan bangsa.

3) Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
Dalam rangka membangun masyarakat yang adil dan makmur yang tetap berkepribadian indonesia, kita harus tetap beriman dn bertaqwa kepada tuhan yang maha esa. Dalam menjalani tuntutan era globalisasi, kita tetap mampu berdiri kokoh sebagai bangsa dengan ideologi dan pandangan hidup nasional yang tangguh serta kebudayaan nasional yang yang luhur.

 2.2 Faktor –faktor Budaya Asing Masuk

A. Kurangnya Penjagaan yang ketat di wilayah gerbang Indonesia

Dalam gerbang wilayah Indonesia, sepertinya kurang adanya badan seleksi khusus yang bisa menyeleksi budaya-budaya asing negatif yang masuk ke Indonesia. Seperti masih banyaknya gambar serta video porno yang didatangkan dari luar.

B. Lifestyle yang berkiblat pada barat

Saat ini banyak masyarakat Indonesia yang meniru gaya hidup atau lifestyle orang-orang bule atau lebih berkiblat kebarat-baratan, yakni melakukan sex bebas, berpakaian mini, gaya hidup bebas tanpa ikatan atau biasa sering kita sebut dengan kumpul kebo. Istilah ini digunakan kepada pasangan yang bukan muhrimnya tetapi tinggal seatap tidak dalam tali pernikahan.

Di Indonesia gaya hidup ini tidak dibenarkan karena menyalahi beberapa norma yakni norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan. Sanksi yang diberikan bagi yang melanggar juga cukup berat terutama pada lingkungan sekitarnya. Orang-orang yang melakukan “kumpul kebo” atau tinggal serumah tanpa ikatan pernikahan ini akan dipandang kurang pantas oleh warga sekitar. Sanksi yang diberikan masyarakat tidak berat tetapi cukup menyakitkan karena bisa-bisa akan mengucilkan orang yang melakukan kegiatan ini.

C. Menyalagunakan Tekhnologi

Seperti sempat kita bahas diatas bahwa pemanfaatan tekhnologi yang salah dapat mempermudah arus budaya asinya negatif yang masuk. Seperti Internet sekarang ini internet banyak disalahgunakan untuk hal-hal negatif, seperti ada situs porno, melakukan hal penipuan, dll. Orang-orang menyalahgunakan pemanfaatan tekhnologi ini denga cara yang tidak benar. Orang-orang bisa mengakses dengan mudah situs-situs porno yang mereka inginkan. Hal ini membawa dampak buruk bagi yang menikmatinya.

Antisipasi Budaya Asing Negatif yang Masuk

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki martabat serta harga diri bangsa yang tinggi sehingga jangan sampai bangsa ini rusak hanya karena pengaruh-pengaruh negatif dari pihak asing yang ingin menghancurkan mental generasi penerus bangsa kita. Ada beberapa tindakan antisipasi yang perlu dilakukan oleh generasi muda terhadap pengaruh asing yang sifatnya negatif diantaranya :

A. Bersikap kritis dan teliti

Sebagai penerus bangsa,kita harus bersikap kritis dan teliti terhadap hal-hal yang baru didatangkan dari luar, bagaimana kita bisa memfilter apakah hal ini bisa membawa dampak baik atau buruk bagi kita. Bersikaplah kritis terhadap sesuatu yang baru, banyak bertanya pada orang-orang yang berkompeten dibidangnya dan teliti apakah inovasi tersebut bisa sesuai dengan iklim indonesia dan pastikan tidak melanggar norma-norma yang berlaku di Indonesia.

B. Perluas Ilmu pengetahuan (IPTEK)

Sebelum budaya asing itu masuk sebaiknya kita telah mengetahui apa inovasi- inovasi yang masuk itu secara jelas dan rinci. Kita bisa mengetahui keguanaan hal itu secara keilmuannya, seperti situs jaringan facebook. Facebook saat ini sedang menjamur dikalangan masyarakat, dari berbagai usia semua menggunakan situs ini untuk menjalin tali silaturahmi yang telah lama terputus. Tetapi ada beberapa orang yang menyalahgunakan facebook sebagai ajang caci maki dan hina dina. Jika kita mengetahui fungsi awal facebook itu sendiri adalah untuk menjalin tali silaturahmi, kita tidak akan menyalahgunakan situs ini untuk berbuat yang tidak-tidak. Sehingga kita harus mengetahui terlebih dahulu fungsinya untuk apa dan manfaatnya seperti apa.

C. Harus sesuai dengan Norma-norma yang berlaku di Indonesia

Pengaruh budaya asing yang masuk terkadang tidak sesuai dengan noram-norma yang berlaku di Indonesia. Jika kita menyaksikan film-film luar, mereka menganut gaya hidup yang bebas dan jika diterapkan disini melanggar beberapa norma yang ada di Indonesia. Misalnya saja berciuman dimuka umum. Kita sering menyaksikan film-film barat yang melakukan adegan-adegan mesra di muka umum, hal itu tidak bisa diterapkan di Indonesia karena melanggar norma kesopanan. Biasanya di film-film barat, wanitanya berpesta dengan menggunakan pakaian mini sambil bermabuk-mabukan jika hal itu diterapkan di Indonesia, adat seperti itu tetntu tidak sesuai jika kita terapkan di Indonesia.

Indonesia masih memegang adat ketimuran yang sangat kental sehingga masyarakat di sini hidup dengan aturan-aturan yang berlaku dan tentunya pantas sesuai dengan adat kesopanan. Walaupun Indonesia memiliki beriburibu pulau tetapi adat istiadat mereka selalu mengajarkan kebaikan dan tidak menganjurkan perbuatan buruk untuk dilakukan.

D. Tanamkan “Aku Cinta Indonesia”

Maksud dari simbol ini adalah bahwa adat istiadat yang ditularkan oleh nenek moyang kita adalah benar adanya dan dapat membawa manfaat yang baik bagi diri kita sendiri untuk masa kini dan kedepannya. Sehingga kita tidak mudah terbawa arus budaya asing yang membawa kita kepada dampak yang negatif.

E. Meningkatkan Keimanan dan ketakwaan

Seperti telah kita bahas bahwa agama merupakan pondasi utama dalam diri yang bisa mengontrol diri kita kepada hawa napsu yang akan mengganggu kita kedalam jurang kenistaan. Agama sangat penting bagi kelangsungan umatnya. Apabila sesorang sudah terbawa kedalam kesesatan, agamalah yang menjadi penolong umatnya agar berubah kembali menjadi lebih baik.

Generasi muda yang pintar pasti bisa memilih mana sesuatu yang baik bagi dirinya mana yang tidak baik bagi dirinya. Terlihat didalam lingkungan sosialnya, keika ia terjun didalam lingkungan sosialnya ia menjadi individu yang bebas dan hanya dia yang bisa memilih ia ingin bergaul dengan siapa. Pribadi yang supel akan bisa membawa dirinya kepada siapa saja tetapi perlu diingat menyeleksi teman itu harus, karena pengaruh negatif dari pihak asing bisa datang dari siapa saja, baik dari teman, tekhnologi canggih ataupun apa saja . Sehingga kita sebagai orang timur wajib menjunjung tinggi norma dan adat ketimuran kita.

Festival Budaya Anak Bangsa Bangun Karakter Mandiri

seni jakarta

Bukan semata demi mengenalkan seni budaya nusantara, Festival Budaya Anak Bangsa yang menggelar hajat Pentas Seni Budaya dan Edutainment Sanggar Anak, sebagaimana dikatakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemda DKI Arie Budiman, diharapkan dapat membangun karakter mandiri, percaya diri, dan kreatif via pembinaan seni budaya sanggar anak-anak sejak dini.
Berangkat dari pemahaman inilah, mulai Kamis (20/11) kemarin di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM), hari anak sedunia, dirayakan dengan gelaran festival Budaya anak Bangsa VI. Yang akan berlangsung hingga 23 November. Dalam pesta ini, ratusan anak dari berbagai sanggar di sejumlah kota di Indonesia hadir dengan ragam keseniannya masing-masing.
Sebagai agenda tahunan, yang tahun ini mengambil tema Aku, Kamu dan Dunia itu, kemasan pertunjukannya dibagi dalam empat kegiatan utama. Yaitu pertunjukan sanggar anak, coaching clinic, pameran Bandar Enjoy dan sejumla lomba. Yayasan Mekar Pribadi, Sanggar Anak Bulungan, dan Sanggar Anak Akar sebagai ‘pemain utama’ hajatan ini, menyajikan sejumlah atraksinya yang menarik. Seperti melemparkan ingatan kita kembali ke masa kanak-kanak.
Seperti Perayaan Coloteh Musikal yang dimtapilan Sanggar Anak Bulungan, dengan kecakapan kekuatan lokal via permainan tradisional Jakarta, menyajikan tarian dan nyanyian dengan koreografi yang apik. Membuat ratusan penonton yang tersebar di arena Teater Kecil TIM, memberikan sambutan hangat atas penampilan puluhan anak-anak itu.
“Kalau kita memperhatikan anak sejak dini, Insya Allah kita akan diperhatikan mereka, kalau mereka sudah dewasa,” ujar salah seorang pengampu sanggar anak.
(Benny/CN41/SMNetwork)

MENGHARGAI KARYA ANAK BANGSA DAN BUDAYA BANGSA SEBAGAI BENTUK KEBANGGAAN DAN CINTA TANAH AIR NEGERI INDONESIA

Negara Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk kurang lebih 250 juta jiwa. Negara Indonesia merupakan negara yang posisinya sangat strategis dalam kancah pergaulan dunia, khususnya dari segi letak dan kewilayahan, diapit oleh 2 benua yaitu Asia dan Australia, dan menjadi pusat perhatian dunia karena kreatifitas anak bangsa yang sudah masuk dalam skala internasional. Jika dilihat secara kependudukan, jumlah pelajar dan mahasiswa Indonesia sangat banyak jumlahnya dan tersebar di berbagai pelosok pulau, propinsi dan kabupaten. Para pelajar dan mahasiswa ini pun banyak yang mengukir prestasi baik skala lokal dan nasional.
Selain itu, sudah banyak kreatifitas anak bangsa yang ditunjukan melalui pertandingan lomba, even maupun publikasi melalui tayangan media, seperti kemampuan dalam menciptakan robot, menciptakan mobil dengan ciri khas tersendiri seperti mobil ESEMKA, karya ilmiah remaja oleh para siswa SMU dalam konteks penemuan obat herbal, helm kendaraan bermotor yang tetap sejuk di kepala meskipun dipakai, baju-baju kebaya artistik maupun pakaian batik yang sudah terkenal di seluruh dunia. Belum lagi para mahasiswa sarjana, dan pasca sarjana yang melakukan penelitian dan diakui kualitas hasil penelitiannya oleh LIPI, jurnal internasional, maupun negara maju. Penelitian-penelitian ini sudah tentu membawa dampak positif bagi kemajuan bangsa kita dan memperkaya khasanah keilmuan dan pendidikan negeri ini.
Betapa banyak ragam budaya bangsa kita dari sabang sampai merauke, adat istiadat, baju adat, gaya bahasa, upacara-upacara seremonial yang memiliki ciri khas masing-masing dan merupakan kekayaan bangsa yang tidak ternilai harganya. Para warga penduduk asli setempat pun juga tetap bekerja dan berupaya agar produk-produk kesenian daerahnya dikenal luas oleh masyarakat dan menjadi daya tarik wisata tersendiri, dan tentunya akan menambah PAD daerah yang bersangkutan.
Namun apa dikata, betapa banyak penulis menjumpai orang-orang dilapangan yang tidak mengenal budaya daerahnya masing-masing, tidak tahu, tidak mau melestarikan, cenderung mencibirkan karena tidak sesuai perkembangan jaman, dan bahkan cenderung menghina dan merendahkan budaya-budaya tersebut. Bagi penulis pribadi, karakter orang-orang seperti “keterlaluan” namanya. Betapa banyak juga komunitas muslim Indonesia tertentu yang memusuhi adat istiadat yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, dengan dalih tidak sesuai ajaran Islam dan sebagainya. Penulis juga ingin menyatakan disini bahwa adat istiadat, tradisi, dan apapun namanya itu semenjak tidak bertentangan dengan ajaran Islam ya silahkan saja untuk dikembangkan dan lestarikan. Ini adalah warisan budaya bangsa yang tidak ternilai. Mengapa bangsa kita tidak mau menghargai warisan negeri sendiri?? Aneh rasanya….
Tidak hanya itu, betapa banyak karya hasil penelitian yang menjadi prestasi anak bangsa tidak dapat diaplikasikan dalam dunia organisasi atau dunia bisnis di lapangan, alias hanya terpajang di ruang perpustakaan kampus. Sepertinya dunia organisasi dan bisnis di lapangan antipati terhadap hasil penelitian itu dan menganggap remeh temeh hasil penelitian tersebut. Namun anehnya, justru negara maju itulah yang mampu dan mau menghargai karya anak bangsa seperti hasil penelitian dan mau mempublikasikannya dalam jurnal internasional. Yang lebih aneh lagi, negara maju itulah yang kemudian mencoba menerapkan hasil penelitian karya anak bangsa di lingkungan organisasi dan aktifitas bisnis disana. Pertayaannya adalah peran pemerintah dan dinas terkait kemana?? Kenapa tidak menjembatani atau mengakomodir?? Atau jangan-jangan memiliki “penyakit” mental yang tidak mau menghargai karya anak bangsa.
Betapa banyak orang yang sangat berprestasi, berpredikat cum-laode, memiliki pengalaman organisasi dan seabrek prestasi lainnya namun tidak bisa menduduki posisi penting di suatu perusahaan atau kantor. Ujung-ujungnya yang diterima bekerja adalah orang yang biasa-biasa saja alias tidak berprestasi. Sahabat penulis yang merupakan lulusan perguruan tinggi ternama di Yogyakarta dan penuh dengan segudang prestasi pun pernah menceritakan hal ini, sambil mengelus dada dan berkata “mau cari orang yang kayak apa kantor tersebut??”.
Tidak hanya berhenti disitu, banyak sekali dilingkungan masyarakat perkotaan dimana “seseorang” memiliki prestasi tinggi di bidang tulis menulis, puisi, dan bahkan menerbitkan novel original karyanya sendiri pun juga tidak dihargai. Yang dihargai oleh masyarakat sekitar perkotaan hanyalah yang memiliki uang banyak, rumah mewah bertingkat, mobil berjejer, dan jumlah kekayaannya semata. Dimana letak prestasi oleh masyarakat perkotaan?? Bagi penulis orang-orang yang tidak mampu menghargai karya anak bangsa seperti itu hanyalah mereka-mereka yang “sombong”, dan sebenarnya bisa jadi mereka tidak punya karya apa-apa alias hanya bisa menghargai uang dan uang.
Sekali lagi tidak berhenti sampai disini, sekitar 1-2 tahun lalu kita pernah mendengar bahwa kesenian Jawa Timur yang bernama “Reog” sudah diklaim oleh malaysia. Padahal sepengetahuan penulis “reog” tersebut memang kesenian asli dan milik daerah ponorogo. Yang penulis bingung, ternyata putra daerah ponorogo sangat sedikit yang mau melestarikannya. Setelah diklaim milik malaysia, bangsa kita baru “melek” akan pentingnya kekayaan dan budaya lokal bangsa.
Dari penjelasan di atas hendaknya kita sebagai pribadi-pribadi putra-putri bangsa harus tergugah hatinya dan sadar akan pentingnya prestasi dan kekayaan budaya bangsa kita. Kita harus mampu menghargai karya anak bangsa sendiri dan melestarikan budaya bangsa yang tidak ternilai harganya. Sebagai pelajar atau mahasiswa terdapat berbagai cara untuk terus mengargai karya bangsa sendiri, yaitu:
  1. Membantu para pihak yang memiliki kreatifitas untuk kemudian dipromosikan sebagai prestasi anak bangsa dan tentunya yang akan memberikan nilai positif bagi kemajuan, baik kemajuan ilmu pengetahuan, dan pendidikan.
  2. Tetap terus berkarya baik melalui tulis menulis, mencari dan menemukan penemuan atau inovasi baru yang dapat bermanfaat bagi masyarakat
  3. Membentuk sebuah komunitas yang berisikan pelajar atau mahasiswa kreatif dan kemudian menuangkan gagasan serta ide-ide menarik ke dalam produk nyata.
  4. Prestasi anak bangsa hendaknya juga ikut diperkenalkan dan dipromosikan ke dalam kancah komunitas dunia internasional dan untuk membuktikan bahwa Indonesia bisa, Indonesia itu pintar dan cerdas serta penuh prestasi
  5. Para pelajar atau mahasiswa yang menyukai kesenian hendaknya ikut berperan aktif dalam mempelajari dan melestarikan adat istiadat budaya bangsa, dan mengadakan even-even pertunjukan yang dikemas semenarik mungkin serta berisikan berbagai macam pentas kebudayaan bangsa. Hal ini bertujuan untuk membuka mata masyarakat Indonesia yang “mungkin” belum tahu bahwa bangsa kita penuh dengan kekayaan budaya dan tidak ternilai harganya. Dengan harapan mereka bisa lebih menghargai bangsanya sendiri dari pada bangsa lain.
  6. Para pelajar atau mahasiswa yang ingin mendalami kebudayaan hendaknya dapat mempelajarinya dengan bersekolah di perguruan tinggi yang terdapat jurusan sosial budaya. Hal ini dimaksudkan untuk tetap meneruskan generasi-generasi berpendidikan yang tahu dan memiliki pengetahuan mendalam tentang kebudayaan negeri sendiri.
  7. Jangan Cuma mengagung-agungkan negara maju, berkacalah pada negeri sendiri bahwa bangsa Indonesia memiliki segudang kekayaan tak ternilai, dan belum tentu negara maju memilikinya. Jangan memusuhi karya anak bangsa sendiri, namun harus berbangga diri dan ikut berperan aktif melestarikannya.
  8. Bagi pelajar atau mahasiswa yang memiliki akses dengan komunitas di luar negeri, hendaknya dapat bekerjasama untuk memperoleh dana yang digunakan untuk pelestarian budaya dan kesenian bangsa. Budaya dan kesenian tersebut juga dapat dipentaskan ke luar negeri. Hal ini juga bermanfaat sebagai “unjuk gigi” bahwa Indonesia memang kaya, dan dunia luar harus mengakui dan menghargainya.
Sedangkan bagi pemerintah, sebagai bentuk upaya untuk melestarikan budaya, adat istiadat dan kesenian bangsa, pemerintah dapat melakukan hal-hal berikut ini:
  1. Membantu para komunitas kesenian dan budaya untuk mempromosikan karya-karya budaya negeri sendiri, baik melalui pentas seni dan pameran-pameran
  2. Memberikan bantuan dana untuk pelestarian budaya dan kesenian pada setiap daerah-daerah
  3. Menjaga budaya bangsa sendiri beserta kesenian yang terkandung di dalamnya agar tidak di klaim oleh negara lain sebagai miliknya.
  4. Menyelenggarakan seminar atau lokakarya akan pentingnya budaya dan kesenian bangsa sebagai kekayaan yang tidak ternilai
  5. Membina para komunitas pecinta seni budaya untuk terus melestarikan budaya dan kesenian tersebut. Pembinaan ini bisa melalui membentuk badan di bawah kementrian yang khusus untuk melestarikan budaya dan kesenian anak negeri.
  6. Terus melakukan kerjasama dengan pemerintah luar negeri untuk mengadakan acara pentas budaya bersama dan berisikan berbagai ragam budaya dan kesenian negara masing-masing. Dengan harapan masyarakat negara maju juga ikut tertarik mempelajari dan melestarikannya.
  7. Apabila terdapat budaya dan kesenian anak negeri dan sudah diklaim oleh negara lain, hendaknya pemerintah Indonesia melalui kementrian terkait dapat melakukan diplomasi dan loby-loby politik agar budaya dan kesenian tersebut tetap menjadi warisan budaya bangsa.
  8. Bagi mahasiswa atau pelajar yang memiliki pemikiran cemerlang, cerdas, menguasai berbagai jenis bahasa asing hendaknya pemerintah mampu untuk memfasilitasi untuk bekerja di Instansi yang sangat membutuhkan orang-orang seperti ini (mahasiswa tersebut).
  9. Karya-karya hasil penelitian anak negeri yang sangat bermanfaat dan berkualitas hendaknya ikut diaplikasikan dalam dunia bisnis lewat kerja sama antara pemerintah dengan perguruan tinggi, dan dengan dunia bisnis.
  10. Pemerintah dapat melakukan HAK PATEN pada berbagai kebudayaan dan kesenian Indonesia, hal ini agar orang Indonesia dan luar negeri mengetahui dan tidak ada yang coba-coba mengklaim milik mereka (luar negeri). Hak Paten ini sudah tentu dilindungi dan dijamin oleh Undang-Undang.                                                                                                                                    OLEH: ANTON BUDHI NUGROHO, SE, MM, MES, CSA, CEA, CCAE, CEMB