engantar
Beberapa tahun belakangan ini bangsa Indonesia mengalami keterpurukan
di banyak bidang kehidupan sekaligus. Dimulai dari keterpurukan ekonomi
kemudian merambat ke bidang yang lainnya, hukum, sosial, budaya,
pendidikan, dan sebagainya. Keterpurukan yang terjadi sekarang ini sudah
sangat kompleks karena apa yang sedang berlangsung di dalam satu sisi
segera disambut dengan sisi kehidupan yang lain.
Reformasi yang digelorakan di negeri ini ternyata tidak atau belum
sanggup mengatasi keterpurukan tersebut. Di dalam berbagai dimensi,
reformasi terkesan justru menambah kompleksnya keterpurukan bangsa ini;
dan di berbagai faset, reformasi terlihat tak lagi membuat simpel,
tetapi justru menambah rumit problematika nasional yang dihadapi bangsa
ini.
Sudah barang tentu reformasi yang sedang dijalankan oleh bangsa ini
mengandung banyak aspek yang positif, tetapi ada ekses yang terkadang
menutup cita-cita reformasi itu sendiri, bahkan tak jarang terkesan akan
membelokkan arah reformasi. Munculnya barbarisme dan vandalisme baik
secara fisik maupun nonfisik, adanya model-model KKN baru, seringnya
terjadi pembenaran politik dalam berbagai permasalahan yang jauh dari
kebenaran universal, hilangnya keteladanan para pemimpin, larutnya
semangat berkorban bagi bangsa dan negara, menjalarnya penyakit sosial
yang makin kronis, dsb, adalah realitas yang dapat menciutkan hati warga
negara yang mendambakan kebersamaan dan kedamaian.
Dalam kondisi ini, secara tidak sadar masyarakat tergiring menjadi
"manusia robot". Pada saat yang bersamaan muncul sifat serakah,
keinginan jalan pintas dalam memecahkan persoalan hidup, kurang sensitif
terhadap kelompok masyarakat lain yang sedang menderita, dan
sebagainya. Semua itu karena terdorong kuat oleh dampak pembangunan
terfokus pada pertumbuhan ekonomi yang dipatok tinggi, yang pada
gilirannya menuju ke arah budaya konsumerisme. Gap kaya-miskin menjadi sangat lebar. Ketidakpuasan timbul di mana-mana. Krisis ekonomi menjalar cepat pada krisis politik.
Isue tentang pembangunan “nation and character building” yang sempat
mencuat pada masa lampau, namun kemudian mulai kehilangan gaungnya. Dari
kacamata ini, tidak terlalu keliru bila berbagai permasalahan bangsa
yang dikemukakan di atas akhirnya bersumber dari lemahnya pendidikan
dalam membangun karakter dan pekerti bangsa.
Bangsa Indonesia sepertinya telah kehilangan karakter yang telah
dibangun bertahun-tahun, bahkan berabad-abad. Kerjasama, keramahan,
tenggang rasa, kesopanan, dsb, yang merupakan nilai-nilai budaya yang
merupakan karakter bangsa ini seolah-olah hilang begitu saja. Sekarang
ini kita sadar kembali tentang perlunya karakter baru bangsa Indonesia
untuk membangun negeri ini.
Secara tradisional berbagai suku bangsa di Indonesia sebenarnya telah
memiliki berbagai pranata yang berfungsi sebagai sarana melakukan
sosialisasi dan transfomasi nilai-nilai untuk membangun karakter dan
pekerti bangsa. Namun dalam perkembangannya kini berbagai pranata
tersebut tidak lagi dikenali dan dimanfaatkan lagi.
Wawasan kebangsaan
Semboyan negara kita Bhinneka Tunggal Ika
yang artinya berbeda-beda tetapi satu juga, bukanlah hanya berfungsi
sebagai permainan buah bibir saja tetapi telah dibuat oleh para pelopor
pendiri negara kita untuk melambangkan keanekaragaman masyarakat dan
kebudayaan yang bersatu dalam wadah satu masyarakat dan negara Indonesia
dengan satu kebudayaan nasional yang dijiwai oleh Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945. Semboyan tersebut merupakan kristalisasi dan
sekaligus juga hasil refleksi atas kenyataan bahwa di satu sisi
Indonesia itu bhineka, tetapi sekaligus juga satu.
Berdasarkan atas tipologi yang ada masyarakat Indonesia yang bercorak
Bhinneka Tunggal Ika itu dapat digolongkan sebagai masyarakat majemuk.
Ada berbagai tipe masyarakat majemuk, dan salah satu dari tipe tersebut
adalah seperti yang terdapat dalam masyarakat Indonesia, yaitu sebuah
masyarakat yang terdiri atas sejumlah golongan sukubangsa yang terwujud
sebagai satuan-satuan masyarakat dan kebudayaan yang masing-masing
berdiri sendiri yang disatukan oleh kekuatan nasional sebagai sebuah
negara.
Dalam masyarakat majemuk seperti halnya Indonesia, usia masing-masing
golongan sukubangsa yang tergabung dalam masyarakat tersebut lebih tua
dari pada usia masyarakat majemuk itu sendiri yang bersamaan lahirnya
dengan kelahirannya sebagai suatu negara atau satuan politik. Karenanya
juga, kebudayaan nasional suatu masyarakat majemuk, seperti Indonesia,
biasanya belum mantap dibandingkan dengan kebudayaan suku-sukubangsa
yang tercakup di dalamnya.
Masyarakat Indonesia yang majemuk haruslah mengakui, menghormati dan
menghargai kemajemukan itu sebagai sebuah kekayaan bangsa dalam
membangun dan mengembangkan karakter bangsa. Dalam hubungan itu, Meutia
Hatta (2002:2) memaparkan bahwa strategi kebudayaan yang andal yang
diisi dengan nilai-nilai yang mendorong terbentuknya watak atau karakter
bangsa yang (1) tangguh dalam mencapai kemajuan bangsa dan negara; (2)
cinta, bangsa, hormat, memelihara serta menjaga tanah air dan sesama
anak bangsa; (3) tidak mudah terpukau dan tidak rendah diri terhadap
unsur asing; (4) berkeinginan untuk bersatu dalam ikatan kuat sehingga
mampu menjadi tuan rumah di negerinya sendiri; (5) menghargai
kebersamaan dan kerja sama (mutualitas) dalam menjalankan kehidupan
berbangsa dan bernegara demi mencapai kemajuan bangsa dan tanah air''.
Di samping itu, nilai-nilai yang tertera Pancasila dan Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 dalam kerangka membangun karakter bangsa dalam
konteks kehidupan berbangsa dan bernegara tidak bertentangan dengan
nilai-nilai agama dari agama-agama yang diakui di Indonesia. Bahkan
''persatuan Indonesia'' pun dapat bermakna sebagai solidaritas kelompok
yang juga selain terdapat dalam nilai-nilai agama dan bahkan tidak
bertentangan dengan nilai-nilai budaya suku-suku bangsa Indonesia yang
jumlahnya cukup fantastik itu.
Ketika berbicara tentang pembangunan karakter bangsa, memang tidak
dapat melepaskan diri dari pembahasan mengenai kebudayaan nasional,
karena kebudayaan nasional merupakan wadah pembentukan karakter bangsa,
sebagai sarana bagi pembentukan sikap mental bangsa yang berkualitas
agar bangsa kita mampu menghadapi tantangan zaman, dan merupakan sarana
yang paling penting untuk menjadi kekuatan pemersatu bangsa.
Koentjaraningrat mengatakan bahwa kebudayaan nasional dapat berfungsi
(1) sebagai suatu sistem gagasan dan perlambang yang memberi identitas
kepada warga negara Indonesia, (2) sebagai suatu sistem gagasan dan
perlambang yang dapat dipakai oleh semua warga negara Indonesia yang
bhineka itu, untuk saling berkomunikasi dan dengan demikian dapat
memperkuat solidaritas.
Dalam fungsinya yang pertama, suatu unsur kebudayaan dapat menjadi
suatu unsur dalam kebudayaan nasional Indonesia apabila unsur itu
mempunyai paling sedikit tiga syarat, yaitu: (1) harus merupakan hasil
karya warga negara Indonesia atau hasil karya orang-orang Indonesia
jaman dahulu yang berasal dari daerah-daerah yang sekarang merupakan
wilayah negara Indonesia; (2) unsur itu harus merupakan hasil karya
warga negara Indonesia yang tema pikiran atau wujudnya mengandung
ciri-ciri khas Indonesia; (3) harus juga merupakan hasil karya warga
negara Indonesia yang oleh sebanyak mungkin warga negara Indonesia
lainnya dinilai sedemikian tingginya sehingga dapat menjadi kebanggaan
mereka semua, dan dengan demikian mereka mau mengidentitaskan diri
dengan unsur kebudayaan itu.
Kebudayaan nasional bukan sekadar kebudayaan yang lahir secara
alamiah sebagai hasil karya suku-suku bangsa tertentu di Indonesia dan
bukan pula sekadar hasil akulturasi dari sejumlah unsur bangsa
kebudayaan daerah yang kemudian memperoleh wujud baru sebagai kebudayaan
Indonesia. Kebudayaan nasional adalah kebudayaan yang dibentuk melalui
strategi kebudayaan untuk menjadi sarana membangun bangsa
Konsep Karakter dan Pekerti Bangsa
Menurut Kamus besar Bahasa Indonesia, karakter mempunyai
pengertian sifat-sifat kejiwaan; tabiat; watak; perangai; akhlak atau
budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Berkarakter
artinya berkepribadian; bertabiat atau berwatak. Demikian pula dengan
konsep pekerti mempunyai pengertian yang sama dengan karakter, yaitu
tabiat; watak; atau sifat-sifat kejiwaan. Konsep pekerti biasanya
dihubungkan dengan budi pekerti, yang berarti pekerti atau watak yang
selalu menyenangkan orang lain. Mengacu pada pengertian dalam bahasa
Inggris, budi pekerti diterjemahkan sebagai moralitas, yang mempunyai
beberapa pengertian antara lain adat istiadat, sopan santun, dan
perilaku. Edi Sedyawati (1999) mengatakan bahwa sesungguhnya pengertian
budi pekerti yang paling hakiki adalah perilaku. Sebagai perilaku, budi
pekerti meliputi pula sikap yang dicerminkan oleh perilaku. Sikap dan
perilaku budi pekerti mengandung lima jangkauan, yaitu:
Karakter dapat bersifat individual dan juga dapat bersifat kolektif,
karena itu yang mempunyai karakter adalah manusia, suku bangsa atau
bangsa. Dengan demikian yang dimaksud dengan karakter atau pekerti
bangsa adalah watak, tabiat atau perangai yang dimiliki oleh sebuah
bangsa. Karakter atau pekerti bangsa tersebut tercermin dalam perilaku,
ekspresi diri dan juga identitas diri pada seluruh warga bangsa.
Keberhasilan sebagai bangsa yang berkarakter adalah memberikan citra
diri yang positif dalam pembentukan sumber daya manusia seutuhnya serta
identitas bangsa yang intelek sehingga mampu menyejajarkan diri dengan
negara-negara lain.
Mengapa kita pelu membentuk karakter? Dengan adanya pembentukan
karakter sejak dini diharapkan akan lahir generasi-genarasi yang
memiliki kepribadian yang matang, hubungan yang harmonis dalam keluarga,
lingkungan dan masyarakat, menjadi manusia yang bermanfat untuk orang
lain.
Bagaimana Membangun Karakter dan Pekerti Bangsa
Semangat untuk membangun karakter dan pekerti bangsa sebenarnya sudah
digelorakan para pendiri bangsa sejak negara ini berdiri, dengan
istilah yang begitu dikenal kala itu “nation and character building”.
Begitu pentingnya pembangunan karakter bangsa ini sehingga Bung Karno,
presiden pertama RI, menempatkannya sebagai salah satu strategi besar
dalam proses pembangunan bangsa. Pembangunan karakter bangsa tidak dapat
dilepaskan dari upaya untuk membangun suatu bangsa besar yang mandiri,
yang, sekali lagi meminjam istilah Bung Karno, tidak menjadi “eine
nation von kuli und kuli unter den nationen”, bangsa kuli di bawah
bangsa-bangsa.
Pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto bekerja
dengan model dirigisme yang otoriter. Dengan demikian memang diperoleh
keadaan yang lebih kondusif untuk melaksanakan berbagai program
pembangunan ekonomi dan industri. Tetapi ternyata “pembangunan manusia
seutuhnya” yang secara resmi menjadi tujuan utama dari ideologi
pembangunan, malahan terpuruk sedemikian rupa, sehingga menghasilkan
masyarakat yang terdiri dari warga masyarakat yang tidak mandiri.
Terlebih Orde Baru mempercanggih praktek korupsi yang mulai tumbuh di
masa Orde Lama menjadi suatu konser dari korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN) sekaligus. Niels Mulder bahkan mengemukakan bahwa masyakat yang
dihasilkan oleh Orde Baru adalah masyarakat yang tidak bermoral.
Adanya kecenderungan menurunnya pengamalan nilai-nilai moral dan
etika di tengah-tengah keluarga dan masyarakat memang merupakan fenomena
yang ditemukan dalam kehidupan masyarakat. Hubungan yang harmonis antar
penduduk di sebagian masyarakat kita cenderung memudar. Keadaan ini
sering menimbulkan konflik di antara warga masyarakat yang menyebabkan
terjadinya pertumpahan darah. Selain itu, sebagian masyarakat, keluarga
dalam menatap hari depan untuk anak-anaknya cenderung berfikir
materialistik, sehinga si anak sejak kecil sudah teracuni oleh
sifat-sifat kebendaan atau duniawi. Misalnya, kalau ada orang tua
bertanya kepada anaknya, Nak! kalau besar kamu mau jadi apa ? Lalu si
anak menjawab, saya ingin menjadi Insinyur! atau saya ingin menjadi
Dokter! dan lain sebagainya. Pola pikir seperti ini sangat dipengaruhi
oleh sifat-sifat kebendaan tadi atau karakter seseorang atau keluarga
dan masyarakat. Oleh karena itu, pola ini setahap-demi setahap harus
diimbangi dengan pembinaan hati nurani sebagai sumber dari pembentukan
karakter.
Reformasi yang digelorakan di negeri ini ternyata tidak atau belum
sanggup mengatasi keterpurukan tersebut. Di dalam berbagai dimensi,
reformasi terkesan justru menambah kompleksnya keterpurukan bangsa ini;
dan di berbagai faset, reformasi terlihat tak lagi membuat simpel,
tetapi justru menambah rumit problematika nasional yang dihadapi bangsa
ini.
Persoalannya, proses dekonstruksi pada masa reformasi selama lima
tahun terakhir sesungguhnya menciptakan berbagai tantangan proses
konstruksi tersebut, hal ini biasa terjadi di berbagai sejarah
bangsa-bangsa ketika mengalami sebuah revolusi, ataupun reformasi penuh
percepatan sejarah kekuasaan dan krisis ekonomi sosial. Proses
dekonstruksi ini secara umum melahirkan tiga tantangan untuk dapat
dikonstruksi kembali.
Pertama, di satu
sisi, munculnya ketidakpercayaan terhadap berbagai lembaga maupun
pimpinan formal, seperti birokrasi, bupati, gubernur, dan lain-lain. Di
sisi lain, lembaga-lembaga formal seperti birokrasi merasa tidak
diperlukan dan sering disepelekan, sehingga memunculkan hilangnya
kebanggaan sebagai birokrat, dan pada gilirannya menurunkan kultur
pelayanan. Yang tersisa, sekadar kerja untuk mencari ruang ekonomi dan
kekuasaan.
Kedua, pesimisme
terhadap daya hidup dan kemampuan pemecahan masalah-masalah bangsa. Hal
ini terjadi karena percepatan pergantian kekuasaan dan krisis yang
terus-menerus, sehingga proses berbangsa kehilangan waktu untuk
melakukan pemecahan masalah. Pada sisi yang lain, kekerasan dalam
berbagai bentuknya sebagai pemecahan masalah muncul sebagai ekspresi
ketidakpuasan dan jalan pintas. Demikian juga, meningkatnya konsumerisme
yang berlebihan, yang menjadikan bangsa tidak lagi menjadi bangsa
produktif namun konsumtif. Inilah budaya instan dan pelarian ketika
aspek keutamaan berbangsa kehilangan tempat di masyarakat.
Ketiga, munculnya
dengan kuat primordialisme dan fanatisme agama. Hal ini disebabkan
karena krisis ekonomi sosial dan kepemimpinan serta perubahan berbagai
undang-undang, maupun desentralisasi yang bersifat teknis dan ekonomis
tanpa aspek nilai multikultur. Pada akhirnya melahirkan anomali di
tengah globalisme yang mempunyai mekanisme kekuasaan nilai dan ekonomi
sendiri. Bisa diduga, hal ini menjadikan masyarakat di tengah krisis
mencari penyelamatan pada aspek terdekat dan teraman serta tergampang,
baik geografi, suku maupun agama. Yang lahir kemudian adalah
primordialisme disertai fanatisme agama yang berlebihan. Maka, dekade
semacam ini, melahirkan pahlawan-pahlawan lokal dan agama yang
kehilangan nilai multikultur dan toleransi serta hormat pada kehidupan
bersama serta proses sejarah berbangsa.
Sudah barang tentu reformasi yang sedang dijalankan oleh bangsa ini
mengandung banyak aspek yang positif, tetapi ada ekses yang terkadang
menutup cita-cita reformasi itu sendiri, bahkan tak jarang terkesan akan
membelokkan arah reformasi. Munculnya barbarisme dan vandalisme baik
secara fisik maupun nonfisik, adanya model-model KKN baru, seringnya
terjadi pembenaran politik dalam berbagai permasalahan yang jauh dari
kebenaran universal, hilang-nya keteladanan para pemimpin, larutnya
semangat berkorban bagi bangsa dan negara, menjalarnya penyakit sosial
yang makin kronis, dsb, adalah realitas yang dapat menciutkan hati warga
negara yang mendambakan kebersamaan dan kedamaian.
Tim Kerja Filosofi Pendidikan yang dibentuk oleh Depdiknas, Bappenas
dan World Bank (1999) pernah merumuskan karakter baru bangsa Indonesia
ke depan yang terdiri lima indikator masyarakat madani Indonesia, yaitu:
Sementara itu Tim Kebudayaan yang dibentuk oleh Depdiknas (2000) juga
pernah merumuskan karakter baru bangsa Indonesia ke depan yang terdiri
delapan indikator masyarakat madani Indonesia, yaitu:
Dengan mendasarkan indikator tersebut di atas terdapat kesenjangan
yang lebar antara karakter bangsa yang dicita-cita-kan dan realitas yang
ada sekarang. Sudah barang tentu untuk merealisasi cita-cita ini
diperlukan waktu yang tidak singkat serta energi yang tidak sedikit.
Membangun Karakter dan Pekerti Bangsa Melalui Pendidikan
Pembangunan karakter bangsa menjadi hal yang mendesak untuk kita
segerakan. Melalui pendidikan, khususnya pendidikan kewarganegaraan atau
ciciv education, pembangunan karakter bangsa itu dapat dimulai.
Sasarannya tentu saja adalah pembangunan watak individu manusia
Indonesia. Untuk hal ini, penguatan spiritualitas dan akhlaq menjadi
salah satu prioritas penting. Sebab civic education bukan sekadar proses
untuk membuat seseorang itu mengetahui apa hak-haknya sebagai warga
negara, akan tetapi lebih dari itu dimaksudkan juga untuk mendidik
setiap individu agar dapat bersikap secara proporsional karena dilandari
oleh watak mandiri, watak manusia yang oleh Allah diciptakan sebagai
makhluk yang merdeka. Baru dengan begitulah kita berhak untuk berharap
bahwa bangsa besar ini akan mampu menegakkan kepalanya berhadapan dengan
bangsa-bangsa lain di dunia. Baru dengan begitu pulalah bangsa besar
ini tidak akan mudah diombang-ambingkan oleh pemaksaan hegemoni negara
lain.
KITA pun semakin menyadari betapa strategisnya pembangunan karakter
bangsa. Pembangunan karakter yang membuat kita sebagai bangsa memiliki
kemauan, kecakapan, serta karakter yang diperlukan oleh perkembangan
bangsa dan perkembangan global. Misalnya kita harus memperkokoh daya
kompetisi kita dengan bangsa lain dalam pendidikan dalam bisnis, dalam
sosial budaya, dalam menguasai ilmu dan teknologi.
Kita paham, bukan saja pengetahuan kognitif yang kita perlukan, bukan
saja pengetahuan emosional, tetapi sekaligus kemauan dan kesanggupan
untuk mengubah dan membentuk karakter bangsa yang kondusif untuk
kemajuan-kemajuan itu.
Diharapkan dengan tercapainya atribut-atribut di atas dengan segala
pemaknaan dan implementasinya dapat diwujudkan masyarakat madani --
masyarakat sipil, masyarakat yang beradab yang menjunjung tinggi
nilai-nilai luhur yang menghargai harkat dan martabat manusia -- seperti
yang dicita-citakan. Semua itu akan amat bergantung pada
pilihan-pilihan kehidupan sosial politik dan kenegaraan yang ditentukan
bersama sebagai manifestasi dari harapan, keinginan dan cita-cita baik
sebagi individu, warga masyarakat dan warga negara. Artinya, partisipasi
masyarakat dalam mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila harus
didasari oleh sense of belonging yang tinggi terhadap bangsa dan negara,
sehingga demokrasi yang disalahartikan menjadi kebablasan tanpa kendali
dan tanpa disiplin yang dapat menghasilkan partisipasi anarkis yang
didasari rasa dendam, irihati dan kebencian, tidak akan pernah terjadi.
Keberhasilan sebagai individu akan membentuk citra diri yang
berkarakter, sumber daya manusia yang berkualitas, serta mempunyai
wawasan yang luas dalam berbagai bidang ilmu dan teknologi. Keberhasilan
sebagai bangsa adalah memberikan citra diri yang positif dalam
pembentukan sumber daya manusia seutuhnya serta identitas bangsa yang
intelek sehingga mampu menyejajarkan diri dengan negara-negara lain.
Akan tetapi secara umum keberhasilan dalam dunia pendidikan kita masih
jauh tertinggal. Sebetulnya yang menjadi akar permasalahan antara lain,
pertama, tenaga pendidik masih belum memadai. Memang dalam pendidikan
kita, banyak pendidik yang tingkat pendidikannya maupun tingkat
intelektualnya di atas rata-rata, akan tetapi ketika para pendidik masih
memikirkan masalah ekonomi dia tidak akan berkonsentrasi penuh dalam
mendidik (pendidikan). Sehingga dalam dirinya akan terdapat dualisme
pemikiran, inilah yang menjadi faktor penyebab pendidik kita belum
memadai dalam memberikan pendidikan.
Kedua, dunia pendidikan kita terlalu teoretis dan birokratis sehingga
lebih banyak teori daripada praktik, ketika lulusan kita dihadapkan
pada kenyataan real di lapangan belum terampil dalam mempraktikkan
bidang keilmuannya, inilah yang menyebabkan dunia pendidikan kita belum
mampu bersaing di dunia internasional. Seharusnya dalam era globalisasi
ini, dunia pendidikan kita harus seimbang antara teori dan praktik
karena ini sangat vital dalam membentuk sumber daya manusia yang
berkualitas dan berintegritas.
Ketiga, kualitas sistem pendidikan jalan di tempat. Sering terjadi
perubahan-perubahan vital atau mendasar dalam sistem pendidikan kita,
seperti perubahan kurikulum pendidikan, sehingga kita kehilangan arah
dalam mencapai tujuan pendidikan. Semestinya pendidikan kita dengan
kurikulum yang ”deduktif” mampu mencetak sumber daya manusia yang
tinggi, intelek dan cepat menyerap berbagai teknologi (science).
Sehingga kita mampu bersaing dalam pergaulan dunia internasional.
Penutup
Dalam usaha pembangunan karakter dan pekerti bangsa memerlukan
keterlibatan seluruh komponen bangsa. Semua warga negara mempunyai
tanggung jawab untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Pada dasarnya
penyelenggaraan pendidikan bisa didekati melalui tiga pendekatan,
yakni: (1) non-school based, terutama dilakukan dalam lingkup keluarga; (2) school-based character buliding; dan (3) kombinasi antara family and school-based character buliding.
Dengan tiga pendekatan tersebut, pendidikan harus mengandung tiga unsur: (a) belajar untuk tahu (learn to know), (b) belajar untuk berbuat (learn to do) dan (c) belajar untuk hidup bersama (learn to live together). Unsur pertama dan kedua lebih terarah membentuk having, agar sumberdaya manusia mempunyai kualitas dalam pengetahuan dan keterampilan atau skill. Unsur ketiga lebih terarah being
menuju pembentukan karakter bangsa. Kini, unsur itu menjadi amat
penting. Pembangkitan rasa nasionalisme, yang bukan ke arah nasionalisme
sempit; penanaman etika berkehidupan bersama, termasuk berbangsa dan
bernegara; pemahaman hak asasi manusia secara benar, menghargai
perbedaan pendapat, tidak memaksakan kehendak, pengembangan sensitivitas
sosial dan lingkungan dan sebagainya, merupakan beberapa hal dari unsur
pendidikan melalui belajar untuk hidup bersama. Pendidikan dari unsur
ketiga ini sudah semestinya dimulai sejak Taman Kanak-kanak hingga
perguruan tinggi. Penyesuaian dalam materi dan cara penyampaiannya tentu
saja diperlukan.
sumber:http://trijokoantro-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-64194-KeIndonesiaan-MEMBANGUN%20KARAKTER%20BANGSA%20MELALUI%20PENDIDIKAN.html
siip..
BalasHapushmz
BalasHapusfollow kek kmen balik blog mb
BalasHapusselviok.blogspot.co.id